Sekilas
info, ini adalah novel yang pertama kali aku selesai baca di tahun 2015. Sebetulnya,
sih, aku gak terlalu suka baca novel dengan genre teenlit, cuman karena kemaren
pas 2014 ada yang nyaranin buat baca novel ini dengan iming-iming, “Ini
ceritanya gak teenlit cinta-cintaan kok, ya, ada cinta dikit, tapi lebih ke
persahabatan,” dan berhubung lagi kehabisan bacaan, ya, jadinya kebaca juga,
deh! Walau sebenarnya udah tahu juga akhir ceritanya kayak gimana, tapi aku
bukan termasuk orang yang antispoiler, jadi biasa aja.
Kalau menurutku sih, novel ini agak
‘nyapein’ buat dibaca. Soalnya, aku terbiasa baca novel yang narasinya
panjang-panjang atau paling enggak antara dialog sama narasi itu
perbandingannya 60:40. Semacam novel The Golden Compass kalau yang terjemahan
atau Ayat-Ayat Cinta, deh, yang Indonesianya. Mungkin, karena emang novel ini
tujuannya remaja muda kali, ya (emang kamu gak muda, Nas? -_-“). Jadi
penulisnya sengaja pake dialog-dialog aja buat ngejelasin ceritanya dan narasi
malah terasa seperti penunjang doang biar ini gak total kaya naskah drama.
Mungkin juga karena ini novel teenlit, sedangkan The Golden Compass itu novel fantasy
dan AAC itu novel dewasa religi. Tapi, serius deh, penggunaan dialog yang
terlalu banyak ini malah bikin gak nyaman. Aku sebagai pembaca jadi kurang bisa
berimajinasi dan masuk ke dalam ceritanya karena narasinya dikit banget. Aku jadi
kurang bisa bayangin, ini mereka lagi dimana, rumahnya si Raka itu gimana, pas
ultah sekolah itu gimana keadaannya, dll. Contohnya aja nih, novel Harry
Potter, inti ceritanya berpusat sama masalah Harry, musuhnya, dan dunia
kepenyihiran, tapi, Mbak J.K. Rowling gak lupa untuk mengambarin Hogwarts itu
gimana. Jadi, pembaca bisa ngerasa kalau dia ‘ada’ sana untuk ngeliat langsung
apa yang terjadi sama Harry, dkk.
Selanjutnya, tokoh-tokoh dari novel
ini. Di awal cerita, Raka pernah bilang kalau Nathan itu Zombie berlidah tajam.
Tapi, buatku, Nathan itu gak tajam kok lidahnya, yang dia omongin itu justru
bener dan di sekolahku hal kayak gitu kayaknya biasa aja. Hampir semua orang
terbiasa ngomong terus terang. Jadi, pengambaran penulis buat Nathan yang
berlidah tajam kayaknya kurang tajam, deh, kalau di sini. Hal selanjutnya yang
aku ngerasa agak sesuatu itu pas (SPOILER) si Nathan ngeiyain kemauan Raka biar
dia dioperasi padahal itu baru kali kedua Raka bujuk dia dan ngomongnya juga
biasa banget (END). Kalau kata temenku sih, “Apa motivasinya?” dibujuk gitu
doang kok mau. Padahal bokapnya aja yang minta dia gak nurut. Jadi, sifat
Nathan yang katanya tegas itu gak kelihatan di sini. Lalu Raka, setiap ada yang
nasihatin dia, dia pasti bilang, “BERISIK!”. Hal ini emang buat dia punya ciri
khas tersendiri, tapi sekali lagi, itu, tuh, anime banget. Jadi, daripada
ngebayangin Raka yang katanya tingginya 180 cm, aku malah ingat Okumura Rin di
Ao no Exorcist atau Naruto kalau lagi marah. Entah, ini bagus atau enggak
sebetulnya? Kemudian sosok Bu Ratna yang terlalu gaul kalau kataku. Bukan
berarti sekolahku gak punya guru yang gaul, sekolahku punya, tapi gaulnya
mereka itu tetap bikin murid segan sama mereka. Istilahnya berwibawalah. Beda
sama Raka yang ngomong sama Bu Ratna kayak ngomong sama temen. Masalahnya
kembali lagi, deskripsinya kurang, jadinya pembaca gak tahu itu Bu Ratna
umurnya berapa atau bentuk badannya gimana kok gaya ngomongnya masih muda.
Soalnya, ya, di sekolahku itu juga ada guru namanya Bu Ratna, karena penulis gak
ngejelasin Bu Ratna di novelnya ini gimana, aku jadi minjem muka guruku, deh!
(Peace, bu ^o^v)
Yang bagus dari novel ini itu,
pertama covernya (wkwkwkwkwk). Kedua, ide ceritanya yang kalau di Indonesia (agak)
antimainstream. Kalau banyak orang bilang ini lebih ke persahabatan, sebenernya
aku lihat penulis lebih mengangkat tema soal kehilangan dan keikhlasan. Karena
di sini bukan cuma soal persahabatannya mereka, tapi lebih gimana mereka
belajar buat ngeikhlasin kehilangan orang yang penting buat mereka, salah
satunya sahabat. (SPOILER) Kayak Raka yang ditinggal mati sama ayah dan
sahabatnya. Dan Nathan yang ditinggalin sama ibunya. Cuma, ya, karena yang
meninggal itu Nathan, sahabatnya Raka, jadi banyak orang menganggap ini kisah
utamanya persahabatan. Tapi, coba seandainya yang meninggal itu pacarnya Raka,
si Nadya, entar temanya berubah jadi percintaan sepasang kekasih dipisahkan
oleh maut (END). Padahal mah, intinya kita itu harus bisa ngerelain orang yang
udah pergi. Move on, kayak judulnya, Let Go. Jadi, persahabatan itu subtema aja
kalau buatku. Ketiga, ada bumbu-bumbu pelajaran sejarahnya. Dan bagian dari
novel ini yang paling aku suka adalah (SPOILER) waktu Raka bilang kalau
seandainya perang puputan dijadiin film mungkin bakal mirip sama film The Last
Samurai (END). Aku setuju banget dan kalau sampai ada filmnya aku bakal nonton!
Soalnya aku selalu terkagum-kagum sama cerita-cerita sejarah yang kayak gini.
Keempat, aku suka momen Raka-Nadya yang mengutip dialog-dialog film terkenal.
Mereka romantis dengan cara mereka sendiri, tapi gak norak ataupun alay.
Akhir kata, 3 bintang buat novel
ini. Sukses terus buat Mbak Windhy, semoga novel-novel selanjutnya lebih baik
lagi!
Ps.
Habis ini aku mau ngereview Hex Hall dari Rachel Hawkins.